Sebagaimana diketahui, bahwa i’tidal adalah salah satu gerakan shalat, yaitu gerakan setelah bangkit dari ruku’. Gerakan ini termasuk salah satu rukun shalat yang mempunyai peran penting dalam menentukan kesempurnaan shalat seseorang. Pada artikel ini kami menyebutkan hukum membaca zikir saat i’tidal serta beberapa pilihan bacaan sesuai sunnah. Apa Hukum Membaca Zikir I’tidal?Siapakah yang Diwajibkan Membaca Zikir I’tidal Ketika Shalat Berjama’ah?Kumpulan Bacaan Saat I’tidal yang ShahihBacaan Saat I’tidal Ketika Salat Wajib dan SunahBacaan Saat I’tidal untuk Shalat MalamMetode dan Cara Penerapan Seluruh Bacaan Zikir I’tidalTuntunan Membaca Seluruh Zikir-zikir I’tidalFaedah Ketika Membaca Seluruh Bacaan Zikir I’tidal Apa Hukum Membaca Zikir I’tidal? Hukum asal membaca zikir i’tidal adalah wajib sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam إِذَا قَالَ الإِمَامُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ “Jika imam membaca سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ Allah Maha Mendengar makhluq yang memuji-Nya, maka katakanlah اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ Ya Allah Rabb kami, hanya milik-Mu semata segala pujian.”1 Dalam hadits ini terdapat perintah untuk membaca zikir i’tidal. Sedangkan hukum asal perintah dalam syariat adalah wajib dilakukan. Siapakah yang Diwajibkan Membaca Zikir I’tidal Ketika Shalat Berjama’ah? Yang diwajibkan untuk membaca zikir i’tidal adalah makmum, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Sedangkan untuk imam dan orang yang shalat sendiri hukumnya adalah sunnah,2 sebagaimana dalam sebuah hadits كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ، ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ» حِينَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنَ الرُّكُوعِ، ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ» “Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertakbir di saat berdiri hendak melaksanakan shalat. Kemudian bertakbir ketika hendak ruku’. Kemudian beliau mengucapkan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ Allah Maha Mendengar makhluq yang memuji-Nya’. Ketika mengangkat tulang punggungnya untuk bangkit dari ruku’. Kemudian membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ Wahai Rabb kami, hanya milik-Mu semata segala pujian’ dalam keadaan beliau berdiri i’tidal.”3 Kumpulan Bacaan Saat I’tidal yang Shahih Zikir-zikir i’tidal yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam ada yang bersifat umum, sehingga bisa dibaca pada semua jenis shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunah. Ada pula yang bersifat khusus untuk salat malam, sehingga hanya disyariatkan untuk dibaca saat shalat malam saja. Bacaan Saat I’tidal Ketika Salat Wajib dan Sunah Berikut ini adalah zikir-zikir i’tidal yang shahih dan bisa dibaca di setiap shalat Pertama رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ “Wahai Rabb kami, hanya milik-Mu semata segala pujian.”4 Kedua رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ “Wahai Rabb kami, hanya milik-Mu semata segala pujian.”5 Perbedaan antara zikir yang pertama dan yang kedua adalah, zikir yang kedua tanpa menggunakan huruf “wawu”. Ketiga اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ “Ya Allah Rabb kami, hanya milik-Mu semata segala pujian.”6 Keempat اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ “Ya Allah Rabb kami, hanya milik-Mu semata segala pujian.”7 Perbedaan antara zikir yang ketiga dan yang keempat adalah, zikir yang keempat tanpa menggunakan huruf “wawu”. Kelima رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْداً كَثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ “Wahai Rabb kami, hanya milik-Mu semata segala pujian yang melimpah, baik, dan diberkahi.”8 Keenam اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، مِلْءُ السَّمَاوَاتِ، وَمِلْءُ الْأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ “Ya Allah Rabb kami, hanya milik-Mu semata segala pujian, yang memenuhi langit-langit, bumi, dan segala sesuatu yang Engkau kehendaki.”9 Ketujuh اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءُ الْأَرْضِ، وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ “Ya Allah Rabb kami, hanya milik-Mu semata segala pujian, yang memenuhi langit-langit, bumi, dan segala sesuatu yang engkau kehendaki. Engkau adalah pemilik kemuliaan dan keagungan. Tidak ada yang dapat mencegah pemberian-Mu. Tidak ada yang mampu memberi kepada orang yang Engkau halangi. Dan tidak ada yang mampu memberi kemanfaatan. Engkaulah Zat yang mulia. Dari-Mu semata segala kemuliaan.”10 Bacaan Saat I’tidal untuk Shalat Malam Pertama اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، أَنْتَ الحَقُّ، وَقَوْلُكَ الحَقُّ، وَوَعْدُكَ الحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الحَقُّ، وَالجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ خَاصَمْتُ، وَبِكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَأَسْرَرْتُ وَأَعْلَنْتُ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، لاَ إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ “Ya Allah Rabb kami, hanya milik-Mu semata segala pujian. Engkaulah penguasa langit, bumi, dan yang ada padanya. Hanya milik-Mu semata segala pujian. Engkaulah pengatur langit, bumi, dan yang ada padanya. Hanya milik-Mu semata segala pujian. Engkaulah yang menerangi langit, bumi, dan yang ada padanya. Engkaulah sesembahan yang benar. Firman-Mu pasti benar. Janji-Mu pasti benar. Perjumpaan dengan-Mu pasti benar. Surga benar adanya. Nerakapun benar adanya. Hari kiamat pasti terjadi. Ya Allah hanya kepada-Mu semata aku berserah diri, aku beriman, aku bergantung, aku mengadu, dan hanya kepada-Mu semata aku berhukum. Ampunilah dosa-dosaku yang akan datang dan yang telah berlalu. Yang tersembunyi maupun yang tampak. Bukahkah Engkau lebih tahu daripada aku. Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau.” 11 Zikir ini dibaca oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam tatkala beliau shalat tahajud. Kedua لِرَبِّيَ الْحَمْدُ، لِرَبِّيَ الْحَمْدُ “Hanya milik Rabbku semata segala pujian, hanya milik Rabbku semata segala pujian.”12 Beliau shallallahu alaihi wa sallam membaca zikir ini ketika shalat malam. Metode dan Cara Penerapan Seluruh Bacaan Zikir I’tidal Tidak jarang timbul pertanyaan disebabkan beragamnya riwayat yang datang tentang bacaan saat tidal. Bagaimana cara penerapan riwayat-riwayat tersebut? Berikut ini penjelasannya. Tuntunan Membaca Seluruh Zikir-zikir I’tidal Membaca satu jenis zikir i’tidal telah mencukupi, namun yang lebih utama adalah membaca zikir-zikir tersebut secara bergantian setiap i’tidal. Hal ini berdasarkan kaedah; Ibadah-ibadah yang datang dengan beberapa cara pelaksanaan, maka yang paling utama adalah mengerjakan seluruhnya secara Faedah Ketika Membaca Seluruh Bacaan Zikir I’tidal Kesimpulannya bahwa sangat dianjurkan untuk membaca seluruh bacaan zikir i’tidal yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Karena mengandung beberapa faedah, antara lain Sebagai bentuk penjagaan terhadap sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dalam rangka meneladani sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dapat membantu untuk menghadirkan hati. Karena seseorang, jika ia hanya membaca satu bacaan zikir i’tidal saja secara terus menerus setiap shalat dapat menyebabkan ia membaca bacaan tersebut tanpa ia sadari atau tanpa menghadirkan hati saat membacanya. Namun berbeda ketika ia mengganti bacaannya pada masing-masing i’tidal sesuai yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, terkadang membaca yang ini dan terkadang membaca yang itu, maka keadaan seperti ini lebih dapat menghadirkan hati saat Demikian pembahasan kami seputar bacaan dan zikir i’tidal. Mudah-mudahan Allah Ta’ala mencurahkan taufiq-Nya kepada kita semua dalam mengamalkan ilmu yang telah kita ketahui. Aamiin. Wallaahu a’lam bish shawab. AAA / IWU Penulis Abdullah al-Atsari Referensi Asy-Syarhul Mumti’ ala Zadil Mustaqni’ karya Muhammad bin Shalih. Aslu Sifat Shalat Nabi shallallaahu alaihi wa salam karya Muhammad Nasiruddin Al-Fiqhul Muyassar fii Dhauil Kitabi was Sunnah. FootnotesHR. al-Bukhari no. 796, dalam Shahihnya. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Lihat al-Fiqhul Muyassar fii Dhauil Kitabi was Sunnah hlm. Muslim no. 28 – 392, dalam Shahihnya. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu. HR. al-Bukhari no. 689 dan 732, dalam Shahihnya. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu. HR. al-Bukhari no. 722, dalam Shahihnya. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu al-Bukhari no. 795, dalam Shahihnya. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu. HR. al-Bukhari no. 796 dan 3228, dalam Shahihnya. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu. HR. al-Bukhari no. 799, dalam Shahihnya. Dari sahabat Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqiy radhiyallahu anhu. HR. Muslim no. 202- 476, dalam Shahihnya. Dari sahabat Ibnu Abi Aufa radhiyallahu anhu. HR. Muslim no. 206 – 478, dalam shahihnya. Dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu. HR. al-Bukhari no. 7442, dalam Shahihnya. Dari Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu. HR. an-Nasa’i no. 735 , shahih. Dari sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu anhu. Lihat Syarah Mumti’ 3/48 وكلُّ واحدة من هذه الصِّفات مجزئة، ولكن الأفضل أن يقول هذا أحياناً، وهذا أحياناً، على القاعدة التي قرَّرناها فيما سبق، مِن أنَّ العبادات الواردة على وجوهٍ متنوِّعة الأفضلُ فيها فِعْلُها على هذه الوجوه Lihat Syarah Mumti’ 3/48 وذكرنا أن في ذلك ثلاث فوائد, وهي 1 ـ المحافظة على السُّنَّة .2 ـ اتِّباع السُّنَّة 3 ـ حضور القلب. لأنَّ الإِنسانَ إذا صار مستمرًّا على صيغة واحدة؛ صار كالآلة يقولها وهو لا يشعر، فإذا كان يُغيِّرُ، يقول هذا أحياناً، وهذا أحياناً؛ صار ذلك أدعى لحضور قلبه
Sementara itu, dalam pembahasan ilmu pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqoddimah mantiqiyyah.14 Aliran Hanafiah (Fuqaha) Aliran ini banyak dianut oleh ulama mazhab hanafi. Dalam Ushul Fiqih, aliran ini banyak mempertimbangkan masalah-masalah furu’ yang terdapat di dalam mazhab.
Ilmu Fiqih Adalah – Sebagai umat muslim yang baik, Grameds pasti tahu dong akan kewajiban kita untuk mempelajari ilmu fiqih? Yap, disamping kewajiban beribadah shalat lima waktu maupun berpuasa, kita pun diharuskan mengetahui sekaligus memahami ilmu fiqih yang berisikan ilmu persoalan hukum aturan dalam kehidupan sehari-hari manusia terutama dalam syariat Islam. Ilmu fiqih itu tidak hanya mempelajari bagaimana cara beribadah secara tepat saja, tetapi juga segala hal tentang aspek-aspek kehidupan manusia, hingga sistem jual beli dan warisan sekalipun. Lagi pula, saat ini sudah banyak buku-buku yang memuat pengetahuan fiqih ini dijual di pasaran, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak mempelajarinya. Sayangnya, tidak semua umat muslim memahami pentingnya ilmu fiqih sebab belum mengetahui apa itu ilmu fiqih sebenarnya. Lantas memangnya, apa sih ilmu fiqih jika dilihat sebagai ilmu, hukum, syariat, dan amaliyah? Bagaimana sejarah perkembangan ilmu fiqih hingga sekarang ini? Apa saja objek kajian dalam ilmu fiqih? Supaya Grameds memahami hal-hal tersebut, yuk segera simak ulasannya berikut ini! Apa Itu Ilmu Fiqih?Definisi Ilmu FiqihSebagai IlmuSebagai HukumSebagai SyariatSebagai AmaliyahDefinisi Ilmu Fiqih Menurut AhliUlama-Ulama HanafiahPengikut Imam Syafi’iAbdul Wahab KhallafSejarah Singkat Perkembangan Ilmu Fiqih6 Ruang Lingkup Ilmu FiqihSistematika Penyusunan Ilmu FiqihSistematika Fiqih HanafiSistematika Fiqih MalikiSistematika Fiqih Syafi’iSistematika Fiqih HambaliPerbedaan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih Apa Itu Ilmu Fiqih? Pada dasarnya, fiqih itu adalah sebuah disiplin ilmu yang sebenarnya tidak dikenal di masa Nabi Muhammad SAW. Namun walaupun demikian, bukan berarti di masa Nabi Muhammad SAW itu tidak mengenal kajian-kajian dari ilmu ini, sebab sumber dari disiplin ilmu ini adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Keberadaan ilmu fiqh justru menjadi salah satu ilmu keislaman yang hingga detik ini masih berkembang, terbukti dengan adanya kekayaan warisan khazanah di berbagai kegiatan kajian fiqih. Berhubung fiqih ini adalah cabang ilmu, maka tentunya akan bersifat ilmiah, logis, dan memiliki objek serta kaidah tertentu. Fiqih berbeda dengan tasawuf yang lebih condong pada perasaan dan gerakan hati. Secara etimologi, kata “fiqh” itu berasal dari istilah “faqqaha yufaqqihu fiqhan” yang artinya pemahaman’. Artinya, ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana pemahaman akan agama Islam secara utuh dan komprehensif. Apabila dianalisis secara bahasa, kata “fiqh” ini pun masih sama berartikan pemahaman’, sesuai dengan firman Allah SWT pada QS. Hud ayat 91. Definisi Ilmu Fiqih Sebagai Ilmu Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, fiqh sebagai cabang ilmu pasti akan bersifat ilmiah, logis, dan memiliki objek serta kaidah tertentu. Dalam hal ini, ilmu ini tentunya akan berbeda dengan tasawuf yang lebih mengandalkan perasaan dan gerakan hati manusia. Sebagai ilmu, fiqh juga jelas tidak seperti tarekat yang berupa pelaksanaan ritual-ritual. Definisi fiqh sebagai cabang ilmu, itu berarti dapat dipelajari atas kaidah-kaidah yang memang bisa diuji dan dipresentasikan secara ilmiah. Bahkan di dunia akademik secara ilmiah pun, fiqh telah menjadi cabang ilmu pengetahuan yang bersifat akademis, sehingga wajar saja dipelajari di universitas manapun. Menurut buku Pembelajaran Fiqih karya Dr. Hafsah, fiqh sebagai cabang ilmu inipun dapat dibagi menjadi 5 kategori hukum perbuatan manusia mukallaf, yakni Wajib atau fardhu. Artinya, segala sesuatu yang jika dilaksanakan pasti akan mendapatkan pahala. Sementara jika ditinggalkan atau bahkan diabaikan, justru akan mengakibatkan dosa. Mandub atau Sunna’. Artinya, segala sesuatu yang bila dikerjakan pasti akan mendapatkan pahala, sedangkan jika tidak dikerjakan tetap tidak mengakibatkan dosa. Ibaha’ dan muba’. Artinya, segala sesuatu yang dikerjakan tidak akan mendatangkan pahala, tetapi juga tidak berdosa jika mengerjakannya. Karaha’ atau makruh. Artinya, segala sesuatu yang dianjurkan untuk tidak dikerjakan. Namun, jika dikerjakan pun tetap tidak mendapatkan dosa. Haram. Artinya, segala sesuatu yang dikerjakan pasti akan mendapatkan dosa. Itulah mengapa, akan ada ganjaran pahala bagi yang tidak mengerjakannya. Sebagai Hukum Dilansir dari buku Seri Fiqih Kehidupan 1 Ilmu Fiqih, fiqih selain menjadi cabang ilmu, juga secara khusus termasuk dalam cabang ilmu hukum. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ilmu fiqh itu adalah ilmu hukum, terutama dalam agama Islam. Sebagai Syariat Selain menjadi cabang ilmu dan hukum, fiqih juga menjadi wilayah kajian dari hukum syariat, yakni hukum yang bersumberkan dari Allah SWT dan segala yang telah menjadi ketetapan-Nya. Itulah mengapa, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya, harus mempelajari, menjalankan, dan mengajarkan ilmu fiqh ini kepada umat manusia lain. Keberadaan ilmu ini bukanlah ilmu yang dibuat oleh manusia secara 100%, tetapi berasal dari Allah SWT. Terlebih lagi, sumber dari ilmu ini adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Keterlibatan manusia dalam cabang ilmu ini hanyalah sebatas menganalisis, merinci, memilah, dan menyimpulkan apa yang telah Allah SWT firmankan kepada kita melalui Al-Quran. Sebagai Amaliyah Fiqih sebagai amaliyah, artinya hukum fiqh ini akan terbatas pada hal-hal yang memang bersifat amaliyah badaniyah saja, bukan yang bersifat ruh, perasaan, atau kejiwaan lainnya. Yap, ilmu ini hanya akan membahas tentang hukum-hukum dalam Islam yang bersifat fisik alias yang terlihat secara kasat mata saja. Sementara itu, apa yang ada di dalam hati dan pikiran manusia, tidak termasuk dalam hal amaliyah ini. Definisi Ilmu Fiqih Menurut Ahli Ulama-Ulama Hanafiah “Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban serta berhubungan dengan amalan para mukallaf”. Pengikut Imam Syafi’i “Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf yang dikeluarkan diistimbatkan dari dalil-dalil yang terperinci.” Abdul Wahab Khallaf “Suatu ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hukum-hukum syara’ agama yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci.” Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Fiqih Sebenarnya, sejarah perkembangan Ilmu Fiqih itu sangat panjang, bahkan sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW hanya saja saat itu ilmu ini belum dianggap sebagai disiplin ilmu secara khusus. Perkembangannya pun dimulai dari masa Nabi Muhammad SAW, kemudian berlanjut ke masa Khulafaur Rasyidin, hingga masa Tabi’in yang mengalami kemunduran dan kemajuan dalam perjalanan waktunya. Menurut artikel penelitian berjudul Fiqih Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hakikat dan Objek Ilmu Fiqih, berikut ini sejarah singkat dari perkembangan ilmu fiqh. Keberadaan ilmu fiqh tentu saja lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam di dunia ini. Mengingat bahwa ilmu ini menjadi kumpulan peraturan yang mengatur bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, hingga manusia dengan sesama manusia. Terlebih lagi dalam agama Islam itu juga mengatur berbagai bidang kehidupan umatnya, mulai dari akidah, ibadah, dan mua’malah yang bersumber dari Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Yap, semua yang telah diterangkan melalui firman Allah SWT di Al-Quran, diperjelas lagi oleh Nabi Muhammad SAW melalui sunnahnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sumber ilmu fiqh adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Selanjutnya, di masa pemerintahan islam yang dipimpin oleh sahabat Nabi, banyak terjadi beragam peristiwa besar yang baru ada. Untuk itu, para sahabat Nabi menetapkan hukum akan adanya peristiwa baru tersebut dengan berijtihad. Ketika melakukan ijtihad, mereka memperoleh 2 hasil yakni kesepakatan pendapat antar para sahabat yang disebut dengan “ijma”; dan perbedaan pendapat antar sahabat yang disebut “atsar”. Nah, pada masa itu, hasil ijtihad tidak dibukukan sehingga belum bisa disebut sebagai ilmu. Namun, dapat diterapkan untuk memecahkan suatu masalah, yang kemudian disebut dengan fiqih. Kira-kira pada abad kedua dan ketiga Hijriah, daerah Arab semakin luas dan bangsa-bangsa yang tidak memeluk agama Islam pun turut menyebar, sehingga sering terjadi peristiwa baru yang belum pernah ada sebelumnya. Atas dasar itulah yang membuat para sahabat Nabi kembali berijtihad untuk mencari hukum dari peristiwa-peristiwa tersebut. Di masa ini, sudah dimulai gerakan pembukuan sunnah, fiqih, dan ilmu lainnya. Fuqaha adalah sebutan orang yang berkecimpung di dunia ilmu fiqh. Secara umum, pembahasan akan ilmu ini memang hanya mencakup 2 bidang saja yakni fiqh ibadah dan fiqh muamalah. Menurut buku Pembelajaran Fiqih karya Dr. Hafsah, pada fiqh ibadah lebih mengatur pada bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti ibadah shalat, zakat, memenuhi nazar, haji, dan lainnya. Lalu, pada fiqh muamalah lebih mengatur bagaimana hubungan manusia dengan manusia, seperti ketentuan jual-beli, perkawinan, sewa-menyewa, warisan, dan lainnya. Nah, dalam hal ini pun Musthafa A. Zarqa sudah membagi ruang lingkup dalam kajian ilmu fiqh menjadi 6 bidang, yakni Fiqih Ibadah, yakni ketentuan-ketentuan hukum yang berkenaan dengan bidang Ubudiyah. Mulai dari shalat, puasa, hingga ibadah haji. Ahwal Syakhsiyah, yakni ketentuan-ketentuan hukum yang berkenaan dengan kehidupan keluarga. Mulai dari perkawinan, nafkah, perceraian, hingga ketentuan nasab. Fiqih Muamalah, yakni ketentuan-ketentuan hukum yang berkenaan dengan hubungan sosial di antara umat Islam, dengan konteks bidang ekonomi dan jasa. Mulai dari gadai barang, jual-beli, hingga sewa-menyewa. Fiqih Jinayah, yakni ketentuan-ketentuan hukum yang berkenaan dengan sanksi-sanksi atas tindak kejahatan kriminal. Mulai dari hudud, diat, hingga qiyas. Fiqih Siyasah, yakni ketentuan-ketentuan yang berkenaan pada hubungan warga negara pada suatu pemerintahan negara. Biasanya, cenderung berhubungan pada politik dan birokrasi pemerintahan suatu negara. Ahlam Khuluqiyah, yakni ketentuan-ketentuan hukum yang berkenaan pada bagaimana etika pergaulan seorang muslim dalam tatanan kehidupan sosial. Sistematika Penyusunan Ilmu Fiqih Berhubung fiqh adalah sebuah cabang ilmu, maka tentu saja harus ada sistematika penyusunannya. Dilansir dari buku berjudul Fiqih karya Dr. Hidayatullah, meskipun sistematika penyusunan ilmu fiqh ini berbeda antara satu ulama satu dengan ulama lainnya, tetapi pada dasarnya pasti akan berupa Sistematika Fiqih Hanafi Ibadah Shalat, puasa, zakat, dan jihad. Mua’malah Transaksi materi berimbal, perkawinan, perceraian, perselisihan, amanah, dan harta warisan. Uqubah Hukuman atas pencurian, zina, qadzaf, dan murtad. Pada sistematika yang pertama ini, tentunya tidak melupakan adanya thaharah. Ilmu fiqh ibadah ini diposisikan pada tingkat tertinggi yang sejalan dengan tujuan pokok manusia diciptakan. Sistematika Fiqih Maliki Ibadah, yang mana hanya mencangkup satu perempat bagian saja dari Fiqih. Nikah, yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bagian kedua. Jual beli, yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bagian ketiga. Peradilan, yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bagian keempat. Sistematika Fiqih Syafi’i Ibadat Mu’amalat Nikah Jinayat Sistematika Fiqih Hambali Ibadat Mu’amalah Munakahat Jinayat Qadha dan Khusumah Perbedaan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih Meskipun namanya hampir sama, tetapi antara ilmu fiqh dan ushul fiqih itu memiliki perbedaan dari segala sudut pandang. Singkatnya, ilmu fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang persoalan hukum Islam yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, sedangkan ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang menyeluruh untuk digunakan dalam pengambilan kesimpulan hukum. Nah, berikut perbedaan antara ilmu fiqh dan ushul fiqih. Ilmu Fiqih Ushul Fiqih Membahas segala hukum-hukum praktis yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil syara yang terperinci. Membahas segala kaidah yang dijadikan sarana untuk menemukan hukum-hukum syara tentang suatu perbuatan dari dalil-dalilnya yang spesifik. Berbicara tentang hukum dari aspek perbuatan. Berbicara tentang metode dan proses bagaimana menemukan hukum Dari sudut penerapannya, seolah dapat menjawab “Apa hukum suatu perbuatan?” Dari sudut penerapannya, seolah dapat menjawab “bagaimana cara menemukan atau proses penemuan hukum yang digunakan.” Lebih condong pada produknya. Lebih condong pada metodologisnya. Merupakan koleksi produk hukum. Merupakan koleksi metodologis untuk memproduksi hukum. Sumber Nashr, Sutomo Abu. 2018. Antara Fiqih dan Syariah. Jakarta Selatan Rumah Fiqih Publishing. Shaifudin, Arif. 2019. Fiqih Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hakikat dan Objek Ilmu Fiqih. Al-Manhaj Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol 12. Harisudin, M. Noor. 2019. Pengantar Ilmu Fiqih. Surabaya Pena Salsabila Hidayatullah. 2019. FIQIH. Banjarmasin Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari. Hafsah. 2016. Pembelajaran Fiqh. Medan Perdana Mulya Sarana. Bahrudin, Moh. 2019. Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung CV. Anugrah Utama Raharja. Sarwat, Ahmad. 2011. Seri Fiqih Kehidupan 1 Ilmu Fiqih. Jakarta Selatan DU Publishing. Baca Juga! Pengertian Hukum Taklifi dan Jenis-Jenisnya Pengertian, Karakteristik, Jenis, dan Ketentuan Nisbah Memahami Apa Itu Gharimin, Orang yang Berhutang dan Berhak Menerima Zakat Definisi dan Isi dari Kitab Safinatun Najah Penjelasan dan Contoh Syirkah Inan Dalam Agama Islam Syarat Zakat Mal dan Cara Menghitungnya Macam-Macam Kafarat dan Cara Membayarnya Makna dan Manfaat Ziarah Kubur ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien
Sumber ilustrasi: PEXELS. Dalam ilmu fiqh kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam sumber dan dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan atau hukum. Sumber dan dalil hukum islam yang disepakati adalah Al-Qur'an, As-sunnah, Ijma, Qiyas tetapi antara ijma' dan qiyas ada yang sepakat ada juga
JAKARTA - Umat Islam dewasa ini sering kali menemukan perbedaan pandangan para ulama dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi umat khilafiyah. Sebenarnya, hal yang sama juga terjadi pada masa sahabat Rasulullah SAW, para tabiin orang yang hidup sesudah generasi sahabat, tabiit-tabiin pengikut tabiin, dan ulama-ulama mengajukan argumentasi permasalahan tersebut, para ulama menggunakan dalil dan dasar hukum yang sama. Misalnya, dalam memahami konsep istithaah mampu dalam berhaji, cara berwudhu, niat dalam shalat, bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Mengapa bisa terjadi perbedaan itu? Bahkan, hingga ada yang saling membid'ahkan, mengafirkan, dan sebagainya. Di antara mereka, ada pula yang memisahkan dari kelompok perbedaan pandangan atau pendapat itu justru memperkaya khazanah intelektual umat Islam untuk saling memahami munculnya perbedaan itu. Pangkal muara perbedaan dari semua itu bukan karena kesalahan para ulama dalam menerjemahkan redaksi dasar dalil yang dijadikan sumber hukum, baik Alquran maupun hadis, melainkan perbedaan dalam memahami dan maksud dari dalil tersebut. Di samping itu, perbedaan ini disebabkan masalah politik, perbedaan dalam menggunakan kaidah usul fikih, atau karena tidak sampainya suatu riwayat atau hadis kepada ulama atau mujtahid mereka yang mau mengambil hikmahnya, perbedaan itu justru sangat besar manfaatnya bagi umat Islam. Sebab, mereka makin mengetahui metode atau cara para mujtahid orang yang menggali hukum Islam dalam menetapkan hukum apakah sebenarnya metode hukum Islam usul fikih itu? Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama asal Mesir dalam bukunya Ushul Fiqih mengemukakan, metode hukum Islam disebut juga dengan usul fikih. Ilmu usul fikih adalah ilmu yang menguraikan metode atau cara yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar'i dari nash-nash Alquran ataupun hadis. Berdasarkan nash itu pula, para ulama mengambil illat alasan yang menjadi landasan hukum untuk kemashlahatan umat.''Ilmu usul fikih memiliki peran penting dalam memengaruhi pembentukan pemikiran fikih,'' jelas Abu ilmu fikih adalah suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syara seperti wajib, sunah, makruh, halal, haram, dan mubah/boleh mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci dalam nash Alquran dan hadis Nabi SAW. Ada pula yang menambahkannya dengan dalil-dalil atau pendapat ijtihad dari para ulama, seperti ijmak dan penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa usul fikih adalah sebuah metode yang ditempuh para ulama ahli ijtihad dalam menetapkan hukum-hukum syara yang dilakukan oleh seorang mukalaf sudah dewasa atau orang yang sudah dibebani hukum, tentang halal, haram, wajib, sunah, atau makruhnya suatu perbuatan. Sedangkan, fikih adalah hasil dari hukum-hukum syar'i dari metode yang digunakan seorang Muslim diwajibkan berpuasa. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah Albaqarah [2] 183-186. Dasar dari kewajiban shalat antara lain adalah surah Arrum 31, Almujadalah 13, dan Almuzammil 20. Dasar larangan meminum khamar yang memabukkan adalah Almaidah ayat dalil-dalil tersebut, hal itu menjadi pedoman bagi umat dalam melaksanakan segala kewajiban yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah mengetahui dalil-dalil tersebut, kata A Hanafie dalam bukunya Usul Fiqh, umat akan menjadi seorang pengikut yang baik karena memahami apa yang diikutinya ittiba'. Sehingga, mereka tidak menjadi seorang Muslim yang sekadar ikut-ikutan muqallid tanpa mengetahui dasar hukumnya taklid buta, yang penting ikut apa kata mereka, atau pokoknya kata si A, B, C, dan lainnya.Wajib bermazhab?Bagaimana bila umat tersebut tak mampu melakukannya secara sendirian? Bolehkah ia mengikuti pendapat atau mazhab tertentu? Sebagian kalangan ada yang melarang keras bermazhab, bahkan ada yang antimazhab. Namun, sebagian lainnya membolehkan ketika umat memang tidak mampu melakukan penggalian terhadap hukum banyaknya umat Islam yang tak mampu dalam melakukan hal tersebut, Anas Thohir Syamsuddin pernah menulis, "Bermazhab dalam arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad para imam mujtahid, seperti Malik, Syafii, dan lainnya, itu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam yang belum mampu melakukan ijtihad." Wallahualam. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
Hubungan ilmu fiqih dengan ilmu tauhid adalah bahwa dalam ilmu tauhid kita mempelajari tentang kepercayaan kepada tuhan yang mana disitu sudah menjurua pada hal hal yang ada di ilmu fiqih, seperti hukum-hukum solat, rukun iman dan lain-lain. Alhamdulillah mungkin ilmu yang dapat saya sampaikan cukup sampai disini.
Hukum dan Tata Cara I’tidal dalam Salat I’tidal artinya adalah bangkit setelah rukuk sesuai posisi semula. Apabila posisi semula adalah berdiri dengan punggung lurus, maka i’tidalnya adalah dengan kembali berdiri dengan punggung yang lurus. I’tidal termasuk salah satu rukun salat dan hukumnya wajib dikerjakan. Apabila tidak i’tidal dilakukan, maka salat seseorang menjadi batal. Dalil wajibnya mengerjakan i’tidal ada banyak hadis Rasulullah SAW, di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah RA tentang sahabat yang belum paham cara salat/yang belum tepat cara salatnya yang dikenal dengan istilah hadis al-musi’u shalatuhu. Nabi Muhammad SAW bersabda …ثم اركَعْ حتى تَطمَئِنَّ راكِعًا، ثم ارفَعْ حتى تستوِيَ قائِمًا… “… lalu rukuklah dengan tuma’ninah, kemudian angkatlah badanmu hingga berdiri secara lurus” al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat lain …ثم اركَعْ حتى تَطْمَئِنَّ راكعًا ، ثم ارْفَعْ حتى تَعْتَدِلَ قائمًا… “… kemudian rukuklah sampai tuma’ninah dalam rukuknya, kemudian angkatlah badanmu sampai berdiri lurus” al-Bukhari dan Muslim. Baca Juga Batasan Panjangnya Mengucapkan Takbiratul Ihram Tata Cara I’tidal Tata cara i’tidal adalah ketika setelah rukuk dan akan berdiri untuk i’tidal, maka orang yang salat mulai berdiri sambil mengucapkan tasmi’ sami’allahu liman hamidah dan mengangkat tangan sampai sejajar dengan pundak baca tulisan tentang mengangkat tangan ketika takbir. Di antara dalilnya adalah hadis عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ Dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari Ayahnya Ibn Umar RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW mengangkat tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai salat, ketika takbir untuk rukuk, dan juga ketika mengangkat kepala dari rukuk. Ketika bangkit dari rukuk beliau mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah, rabbana wa lakal hamd”. Beliau tidak melakukan hal itu ketika suju. al-Bukhari Pada riwayat lain dari Abu Hurairah RA ان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا قامَ إلى الصَّلاةِ يُكبِّرُ حينَ يقومُ، ثم يُكبِّرُ حينَ يركَعُ، ثم يقولُ سمِعَ اللهُ لِمَن حَمِدَه، حين يرفَعُ صُلْبَه مِن الرُّكوعِ، ثم يقولُ وهو قائمٌ ربَّنا ولك الحمدُ Rasulullah SAW ketika berdiri untuk salat beliau bertakbir ketika berdiri, dan bertakbir ketika rukuk, kemudian mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” ketika bangun dari rukuk hingga meluruskan tulang sulbinya kemudian mengucapkan “rabbana walakal hamdu” al-Bukhari dan Muslim. Ketika sudah berdiri i’tidal, maka harus berdiri dengan lurus dan tenang sejenak thuma’ninah. Tidak boleh tergesa-gesa dalam i’tidal dan berdiri hanya sekenanya. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis dari Abu Humaid al-Sai’idi RA فإِذا رفَع رأسه استوى قائماً حتى يعود كلّ فقار مكانه Rasulullah SAW ketika mengangkat kepalanya bangkit dari rukuk beliau kemudian berdiri lurus tegak hingga setiap ruas tulang punggung kembali berada kepada posisinya semula al-Bukhari Dalam hadis dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda إن الله لا ينظرُ يوم القيامة إلى مَن لا يقيم صُلبَه بين ركوعه وسجودِه Sesungguhnya di hari kiamat Allah tidak akan memandang orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di antara rukuk dan sujud”. Al-Tirmidzi Bca Juga Hukum Takbir Intiqal Dari Ali bin Syaiban RA, ia berkata خرَجنا حتى قدِمنا على رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ، فبايَعناهُ وصلَّينا خلفَهُ ، فلَمحَ بمؤخَّرِ عينِهِ رجلًا ، لا يقيمُ صلاتَهُ ، – يعني صلبَهُ – في الرُّكوعِ والسُّجودِ ، فلمَّا قضى النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ الصَّلاةَ ، قالَ يا معشرَ المسلِمينَ لا صلاةَ لمن لا يقيمُ صلبَهُ في الرُّكوعِ والسُّجودِ Kami melakukan perjalanan hingga bertemu Rasulullah SAW. Kemudian kami berbai’at kepada beliau lalu salat bersama beliau. Ketika salat, beliau melirik kepada seseorang yang tidak meluruskan tulang sulbinya ketika rukuk dan sujud. Ketika beliau selesai salat, beliau bersabda Wahai kaum Muslimin, tidak ada salat bagi orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di dalam rukuk dan sujud”. Ibnu Majah Dalam riwayat lain, dari Abu Mas’ud al-Badri RA, Nabi Muhammad SAW bersabda لا تُجْزِىءُ صلاةٌ لا يُقيم ُالرجلُ فيها يعني صُلْبَهُ في الركوعِ والسجودِ Tidak sah salat seseorang yang tidak menegakkan tulang sulbinya ketika rukuk dan sujud” Abu Daud dan al-Tirmidzi. Al-Tirmidzi mengatakan hadis ini hadis hasan sahih. Wallahu A’lam Redaksi menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email
ZwLm9. 6svuche65f.pages.dev/3306svuche65f.pages.dev/3206svuche65f.pages.dev/3926svuche65f.pages.dev/1836svuche65f.pages.dev/1006svuche65f.pages.dev/576svuche65f.pages.dev/2476svuche65f.pages.dev/469
dalam ilmu fiqih i tidal adalah